Jumat, 23 Maret 2012

Palinggih Pangrubungan

Palinggih pangrubungan terletak di areal Pura Baleagung, Pelinggih Pura Baleagung ini masih berada pada komplek lingkungan Pura Pengastulan desa Bedulu, kecamatan Belahbatuh, Kabupaten Gianyar. Seara Etimologi kata Pangrubungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu kata "rubung" yang berarti  "kerumun", mendapatkan apiksasi berupa prefik Pa[N] + rubung + supik an, sehingga bentuk morfologinya menjadi  "Pangrubungan" yang berarti tempat berkerumun atau tempat berkumpul, (kamus Jawa Kuno-Indonesia, L Mardiwarsito, 1986 : 479). Dalam hal ini artinya diarahkan kepada sebuah pengertian yang lebih spesifik yaitu sebagai tempat berkumpulnya orang yang akan melakukan sepata atau perjanjian. Pelinggih ini berada di sebelah selatan dari bangunan Baleagung menghadap ke barat, dan terbuat dari batu padas tua. Di areal Pura Baleagung hanya terdapat dua bangunan, yaitu sebuah bangunan Baleagung dan sebuah lagi bangunan yang bernama Palinggih Pengrubungan.
        Menurut cerita dari orang tua yang notabenenya masyarakat Bedulu mengatakan bahwa, keberadaan pelinggih ini didasari oleh sebuah konsensus dari dua pihak yang berbeda golongan, yaitu dari pihak Puri Cucukan sebagai penguasa kedua seteleh Klungkung di bedulu, atas permohonan dari Trah Arya Pengalasan untuk memimpin daerah Bedulu, karena Arya Pengalasan pada jaman itu merasa tidak pintar dalam hal kepemerintahan, oleh sebab itu Arya Pengalasan memohon "Pacek" ke Gianyar.
         Dari pihak kerajaan Gianyar kemudian memberikan salah satu putra beliau yang bernama I Dewa Bangsal yang berada di Cucukan untuk menjadi pacek di Bedulu, nama Raja Gianyar pada saat itu adalah I Dewa Manggis Jorog. Setelah "Pacek" yang dimohon oleh Arya Pengalasan tiba di Bedulu, ntah beberapa lama kemudian diadakanlah sebuah perjanjian (sepata) dari kedua pihak, bertempat di halaman (nataran) pura Bale Agung, setelah itu barulah dibuatkan sebuah pelinggih yang sekarang bernama pelinggih pengrubungan. Pelinggih tersebut semestinya sebagai salah satu monumen peringatan, bahwa pada jaman itu (th.1870) ada sebuah peristiwa penting yaitu penyerahan kekuasaan secara sadar (bukan karena kalah perang), dari Trah Arya Pengalasan kepada penguasa baru yang ada di Bedulu. Dan yang lebih penting lagi, seharusnya pelinggih itu sebagai sarana pengingat dari masing-masing keturunan yang melakukan sepata. Namun apa yang terjadi, sampai detik ketika tulisan ini ditulis, satu orangpun warga tidak ada yang menyinggung masalah itu, karena penulis tahu bahwa kebanyakan masyarakatnya tidak mengetahui cerita semacam hal tersebut.
         Ada hal besar berupa pertanyaan dalam hati penulis mengenai peristiwa itu yaitu, 1). Apakah sebenarnya isi sepata itu?, 2). Adakah data sepata itu dalam bentuk tertulis, ataukah hanya dilakukan berdasarkan atas saling percaya saja?. 3). Apakah Keris Ki Bara Kau yang merupakan lambang kekuasaan Arya Pengalasan di Bedulu pada jaman itu, ikut sebagai salah satu bagian dari sepata itu?. Hal besar itulah yang selalu mengganjal hati penulis.
         Dalam hal mencari jawabannya penulis tidak pernah putus asa, dan sampai tulisan ini penulis tulis, penulis masih gelap mengenai keterangan sepata itu, dan penulis tetap akan berusaha untuk menemukannya dengan cara apapun.
         Ada dua alasan kuat kenapa Pelinggih Pengrubungan itu dibangun di sana yaitu, 1). dari aspek tempat. Bahwa Bale Agung adalah sebagai tempat awal turunnya pengetahuan, sehingga dengan keyakinan penuh apapun yang kita mohonkan di sana manjur adanya (dalam purwagama sasana), termasuk melakukan sepata/perjanjian. 2). Bahwa fungsi Bale Agung pada jaman dahulu adalah sebagai sekolah, yaitu sebagai tempat belajar.
         Sekarang Pelinggih itu masih berdiri dengan kekar besar dan tinggi, tetapi dari aspek fungsi Pelinggih tersebut telah dilupakan  fungsinya oleh pihak yang terhubung sepata. Pelinggih tersebut sekarang secara tidak sengaja dan spesifik diposisikan sebagai salah satu bagian dari pura Bale Agung, dan secara generik merupakan bagian dari Pura Pengastulan. 
     

Minggu, 11 Maret 2012

Prajapati ????

Prajapati adalah sebutan lain dari Sanghyang Widhi, dari segi pengastawan prajapati ada dua,

1.  Pengastawan yang dipergunakan ketika ngaben,

2.  Pengastawan yang dipergunakan ketika piodalan

     Kedua pangastawa ini dalam penggunaannya hendaknya dibedakan, karena kedua mantra yang dipergunakan dari segi fungsinya berbeda, perbedaan ini dapat dipahami dari manifestasi beliau. Sanghyang Widhi dalam manifestasi beliau sebagai Sanghyang Prajapati terkait dengan prosesi pengabenan, beliau adalah sebagai penguasa roh orang yang meninggal, sedangkan Sanghyang Widhi dalam manifestasi beliau terkait dengan prosesi piodalan, beliau adalah sebagai Sanghyang Prajapati dalam fungsi beliau sebagai Brahma pencipta dunia.

     Sehubungan dengan Pelinggih Prajapati, ada mantra-mantra lain yang dipergunakan yang berhubungan dengan mantra Prajapati itu sendiri, seperti, Surya astawa, Pertiwi astawa, Saraswati astawa, Bairawi astawa, Sanghyang Mrtyun jiwa astawa, panca durgha astawa atau yang berhubungan dengan Setra Agung, Taru Agung Astawa, Pemengkang astawa atau pintu masuk setra, perempatan Agung astawa, marga tiga astawa atau Sanghyang Sapujagat, Pekemit setra astawa, sedahan bangbang astawa.

     Banyaknya mantra yang dipergunakan terkait dengan perpindahan perjalanan Bhatara Dalem ke masing-masing pura dengan segala fungsinya, sebagaimana yang termuat dalam lontar Gong Besi.

     Dalam Tutur Gong Besi di ceritakan bahwa Ida Sanghang Widhi dalam prabawa beliau sebagai Dewa memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pada awalnya ketika Ida Sanghang Widhi berstana di Pura Dalem Beliau bernama Dalem Kawi, pindah dari  pura Dalem menuju ke pura Puseh beliau bernama Sanghyang Triodasa Sakti, dari Pura Puseh pindah ke Pura Desa beliau bernama Sanghyang Tri Upasadana, dari Pura Desa pindah ke Pura Baleagung beliau bernama Sanghyang bhagawati, dari Baleagung pindah ke perempatan jalan beliau bernama Sanghyang Catur Bhuwana, dari perempatan pindah ke kepertigaan beliau bernama Sanghyang Sapujagat, dari pertigaan pindah ke Setra Agung beliau bernama Bhatari Durgha, dari Setra Agung pindah ke Pemuhunan Agung beliau bernama Sanghyang Brahma Bherawi, dari Pemuhunan pindah ke Penghuluning Setra beliau bernama Sanghyang Prajapati, dari Panghuluning Setra pindah ke Laut beliau bernama Sanghyang Mutering Bhuwana, dari Laut pergi ke Langit beliau bernama Sanghyang Taskarapati, pergi dari langit ke Gunung Agung beliau bernama Sanghyang Giriputri, pergi dari Gunung Agung ke Gunung Lebah beliau bernama Dewi Danu, pergi dari Gunung Lebah ke Pancakatirtha (pancuran) beliau bernama Dewi Gayatri, pergi dari pancuran ke jurang, sungai, beliau bernama Bhatari Gangga, pergi dari jurang, sungai ke sawah beliau bernama Bhatari Uma, pergi dari sawah ke Lumbung beliau bernama Bhatari Sri, pindah dari Lumbung ke Pulu (gentong tempat beras) beliau bernama Sanghyang Tri Suci, pindah dari Pulu ke Dapur beliau bernama Sanghyang Pawitra Saraswati, pergi dari Dapur ke Periuk (tempat makanan) beliau bernama Sanghyang Tri Amretha, air, nasi, lauk, pergi dari periuk ke Sanggar Kemimitan beliau bernama Sanghyang Catur Bhoga, dalam manifestasi yang lain sebagai Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tuduh, Sanghyang Atma.